- News
- Tabet Watu Kenong di Bukit Pakoen
Tabet Watu Kenong di Bukit Pakoen
- Diposting Oleh: Ipung
- Jumat, 01 Juli 2022
Menyusuri jalan setapak di pinggiran hutan pinus yang cukup terjal, berbatu dan licin menjadi sebuah pengalaman tersendiri bagi PAMOR saat mengunjungi Tabet Watu Kenong. Sebuah tabet yang tidak hanya menyimpan cerita mistis, tapi juga pernah menjadi tempat yang ramai dikunjungi peziarah yang mayoritas adalah pelaku seni baik itu ebeg, ronggeng, maupun dalang wayang kulit.
Setidaknya dibutuhkan waktu kurang lebih satu jam berjalan kaki bagi pengunjung yang ingin mencapai lokasi tabet. Namun itu tidak berlaku bagi orang yang sudah terbiasa naik turun gunung, tentu rute itu akan mudah dilaluinya.
Begitu juga dengan rute jalan lainnya, kendati bisa dilalui dengan kendaraan roda dua, rute jalan ini jauh lebih panjang dan memutar di sepanjang sisi hutan pinus. Untuk menuju tabet, dari Desa Menggala memang ada dua jalan, yang satu hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki dan yang satunya bisa dengan kendaraan roda dua. Dua jalan tersebut sama - sama berupa jalan setapak.
Beruntung pada saat itu cuaca cukup panas sehingga PAMOR berkesempatan menelusuri jalan setapak dengan kendaraan roda dua. Tapi tetap saja dengan medan yang cukup curam dan berbatu dibutuhkan kehati - hatian dan konsentrasi tinggi untuk bisa melewatinya, Rabu (29 Juni 2020).
Tabet Watu kenong berada tepat di puncak bukit Pakoen, masuk wilayah Desa Tumiyang, Kecamatan Pekuncen, Kabupaten Banyumas. Untuk menuju titik lokasi, pengunjung harus menerobos rerimbunan semak dan tanaman kapulaga.
Sementara keberadaan tabet ditandai dengan pohon beringin yang sudah berumur ratusan tahun. Tidak jauh dari pohon, terdapat tiga buah batu yang menyerupai alat musik kenong. Keberadaan batu itulah yang menjadikan tabet itu disebut tabet Watu Kenong.
Tabet ini erat kaitannya dengan masa perkebunan Belanda, demikian menurut Mbah Ahmad Solikin saat ditemui di gubuk yang tidak jauh dari lokasi Tabet. Mbah Solikin sendiri sebenarnya warga Desa Menggala, namun karena mempunyai lahan pertanian di wilayah bukit Pakoen, ia pun menetap di lokasi tersebut dengan membuat gubuk sebagai tempat tinggal. Dari pengakuannya ia sudah tinggal di Pakoen selama 50 tahun.
Menurut Mbah Solikin, panggilan akrabnya, tabet Watu Kenong dulunya merupakan tempat untuk pagelaran kesenian ronggeng pada saat pesta panen dari era Kolonial Hindia Belanda hingga masa sebelum kemerdekaan.
"Jadi dulu sebagian hutan di sisi selatan Gunung Selamet dibuka menjadi lahan perkebunan, dan wilayah Pakoen ini dulunya perkebunan kopi. Pada masa itu, setiap panen pasti akan digelar pentas lengger di tabet Watu Kenong," ucap Mbah Solikin.
Tradisi tersebut, lanjut Mbah Solikin, berlangsung hingga masa sebelum kemerdekaan. Dan setelah kemerdekaan hingga tahun 80 an, tabet Watu Kenong menjadi tempat ziarah para pelaku kesenian.
"Yang paling ramai peziarah itu pada tahun 60 sampai tahun 80 an, banyak grup kesenian yang pada sowan dan ritual di panembahan ini," terangnya.
Mbah Solikin juga menceritakan bahwa daerah Pakoen dulunya merupakan sebuah padukuhan yang dihuni oleh kurang lebih 27 kepala keluarga, namun pada tahun 80 an, penduduk setempat mulai meninggalkan perkampungan.
"Dulunya disini pedukuhan, di sekitar tabet saja ada 3 rumah, yang lainnya ada di sisi selatan. Tapi setelah ada peristiwa besar yang oleh masyarakat disebut misterius, dan di wilayah Pakoen ada beberapa korban yang dieksekusi, masyarakat sini jadi pada takut dan pindah," katanya bercerita.
Panembahan Watu Kenong hingga saat ini masih sering menunjukan keangkerannya terutama pada hari-hari tertentu, salah satunya adalah sering terdengarnya suara gamelan. seperti yang dialami Sugi (46) seorang pencari rumput asal Desa Karangtengah, Kecamatan Cilongok.
Ia menyampaikan sering mendengar suara gamelan yang biasa mengiringi lengger, namun saat didatangi, suara itu pun menghilang.
"Sudah biasa itu mas, yang pada bekerja di sekitar sini hampir semuanya pernah mengalami. Tapi memang tidak seperti dulu, yang setiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon selalu terdengar suara gamelan," ucapnya.
Kondisi Tabet Watu Kenong saat ini sudah tidak terawat, karena tidak ada lagi juru kunci yang menjaganya. Juru kunci yang terakhir adalah Mbah Narsan dari Desa Tumiyang dan sepeninggalnya tidak ada lagi yang menggantikannya. //ipung