- News
- Melihat Lebih Dekat Tradisi Nyekar di Karang Bandung Nusakambangan Cilacap, Kali Ini Menempuh Jalur Laut dan Darat
Melihat Lebih Dekat Tradisi Nyekar di Karang Bandung Nusakambangan Cilacap, Kali Ini Menempuh Jalur Laut dan Darat
- Diposting Oleh: heru
- Sabtu, 12 September 2020
Cilacap - Menaiki perahu ditengah gelombang ombak laut selatan yang cukup ekstrim, menjadi pengalaman tersendiri saat mengikuti prosesi nyekar di Karang Bandung Nusakambangan.
Bagi masyarakat nelayan Cilacap, ritual nyekar atau ziarah ke Karang Bandung (Pulau Majeti) yang berada di sebelah Timur Tenggara Pulau Nusakambangan, sudah menjadi tradisi turun temurun.
Ritual ini dilakukan oleh sesepuh di masing-masing kelompok nelayan sehari sebelum diadakannya larungan jolen (Sedekah Laut).
Pada kesempatan itu, TabloidPAMOR.com turut dalam prosesi ritual nyekar bersama Mbah Atmo Suwaryo sesepuh kelompok nelayan Pandanarang, Cilacap, Kamis (9 September 2020) lalu.
Dengan menggunakan perahu, perjalanan menuju Karang Bandung dari Pantai Teluk Penyu dimulai sekitar pukul 8.30 WIB.
Ada hal yang berbeda pada prosesi nyekar kali ini, dimana dari 9 kelompok nelayan, hanya sesepuh nelayan Pandanarang yang berangkatnya melalui jalur laut.
Sedangkan kelompok nelayan lainnya menempuh jalan darat yaitu dengan melalui jalur pantai Karang Tengah Nusakambangan.
Menurut Mbah Atmo, ritual nyekar di tahun ini memang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Selain karena faktor cuaca, juga karena perintah atau petunjuk yang diterima oleh masing-masing sesepuh.
"Memang petunjuk yang kami terima, nyekar kali ini harus melalui jalan darat yang ditempuh dari pantai Karang Tengah Nusakambangan," ucapnya.
Kendati tetap melalui jalur laut, namun perjalanan menuju Karang Bandung kali ini berjalan dengan aman meskipun harus menghadapi cuaca cukup ekstrim.
Belum lagi lokasi Karang Bandung yang penuh dengan batu-batu karang tentunya dibutuhkan keahlian khusus untuk bisa mendaratkan perahu motor.
"Sebenarnya sih memang tidak boleh, tapi bersyukur, untuk nyekar kali ini saya mendapat izin dari leluhur untuk menggunakan jalur laut. Tapi waktunya dibatasi, dan nanti pulangnya harus tetap melalui jalur darat," tutur Mbah Atmo.
Sesampainya di Karang Bandung, masing-masing sesepuh langsung melakukan ritual di atas sebuah batu karang, yang menurut keyakinan mereka disebut Karang Bandung atau Pulau Majeti.
Disini, mereka para sesepuh nelayan cilacap memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi keselamatan dan mendapatkan hasil tangkapan ikan yang melimpah.
Tidak butuh waktu lama untuk melakukan ritual nyekar di Karang Bandung, terlebih ritual mengambil air suci dari Kali Lanang juga tidak dilakukan.
Menurut Mbah Atmo, hal tersebut karena pada prosesi nyekar kali tidak ada satu pun masyarakat diluar kelompok nelayan Pandanarang yang turut.
Sebagai sesepuh, Mbah Atmo memang tidak hanya memiliki tanggung jawab untuk anggotanya saja tapi juga kepada masyarakat yang ikut ngalap berkah di Karang Bandung.
Pada saat-saat seperti ini, oleh sesepuh biasanya satu persatu orang akan dimohonkan kepada Sang Pencipta supaya apa yang menjadi cita-cita dan angan-angannya dapat terkabulkan.
"Ya selain karena cuaca ekstrim, kondisi pandemi juga sangat berpengaruh. Berbeda ditahun sebelumnya bisa puluhan orang yang ikut nyekar," ucap Mbah Atmo.
Tidak hanya menghadapi gelombang ekstrim saja, dalam perjalanan pulang dari Karang Bandung, kami juga harus menempuh jalur darat yang tidaklah mudah.
Selain menembus hutan dengan menyusuri jalur sungai, juga dihadapkan dengan jalur menanjak yang sangat menguras tenaga.
Jika situasi tidak hujan, setidaknya dibutuhkan waktu lebih dari satu jam untuk menempuh perjalanan dari Karang Bandung menuju ke Pantai Karang Tengah.
"Kami juga belum tahu ada apa sebenarnya, kenapa nyekar kali ini harus menempuh jalur darat, padahal puluhan tahun sebelumnya selalu melalui jalur laut dan tidak pernah ada masalah dengan cuaca. Hanya tahun ini saja," terang Mbah Atmo.
Namun demikian, lanjutnya, prosesi nyekar kali ini tetap dijalankan dengan sungguh-sungguh.
"Ya mau seperti apa pun, yang namanya tradisi ya harus tetap dijalankan tanpa mengurangi keyakinan kami sebagai nelayan pesisir selatan Cilacap," kata Mbah Atmo.//ipung